ANALISA DAMPAK PEMINDAHAN KEWENANGAN PEMUNGUTAN
BEA PERALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
KEPADA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH
Oleh : Ferry Afi Andi[1]
Abstraksi
Untuk lebih memberikan otonomi kepada daerah dalam mengelola keuangan diberlakukan Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam UU 28Tahun 2009 ini diberikan keweangan kepada daerah untuk mengelola penerimaan yang sebelumya dikelola oleh Pemerintah Pusat. Salah satu dari sumber penerimaan yang dialihkan pengelolaannya kepada Pemerintah Daerah adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). Pengelolaan BPHTB oleh Pemerintah Daerah diharapkan akan menimbulkan kemandirian Pemerintah Daerah dalam membiayai anggarannya.
Namun ada beberapa perbedaan mendasar antara Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.t.d Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dengan Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terutama dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) justru mengakibatkan penurunan penerimaan BPHTB. Hal ini menyebabkan beberapa daerah tidak bersemangat dalam menyambut pengelolaan BPHTB. Banyak daerah justru lebih merasa diuntungkan dengan pola pengelolaan BPHTB oleh Pemerintah Pusat karena tiap daerah pasti mendapat bagian dari Pemerintah Pusat yang dikembali dibagi rata.. Oleh karena itu sampai dengan waktu pengelolaan BPHTB oleh Pemerintah Daerah, banyak Daerah belum mempunyai perangkat Peraturan Daerah yang dipakai sebagai dasar pemungutan BPHTB. Belum lagi jika mereka harus menyediakan Sumber Daya Manusia untuk memungut BPHTB yang potensinya tidak seberapa.
Tidak adanya Peraturan Daerah yang mendasari pemungutan akan menyebabkan Pemerintah Daerah tidak dapat memungut BPHTB. Hal ini juga menimbulka keresahan masyarakat karena tidak adanya kepastian hukum atas transaksi yang mereka lakukan. Hal ini dapat juga mengganggu penerimaan negara dari sektor Pajak Penghasilan atas Peralihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dan yang pasti selama kekosongan itu terjadi BPHTB tidak dapat ditagih dan tidak akan bisa ditagih karena Peraturan Daerah untuk BPHTB tidak bisa berlaku surut.
Peralihan pengelolaan BPHTB untuk beberapa daerah dengan potensi besar tentu akan menjadi sumber penambahan pendapatan daerah yang cukup besar. Daerah-daerah ini tentu sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mengelola BPHTB. Bagi daerah-daerah ini tujuan untuk menciptakan kemandirian keuangan daerah mungkin akan tercapai. Daerah-daerah ini tentu akan sangat terbantu penerimaannya dengan adanya peralihan pengelolaan BPHTB.
Concern Pemerintah Pusat seharusnya lebih kepada bagaimana ketahanan daerah-daerah yang tidak mempunyai potensi untuk mendapat keuntungan dari proses peralihan pengelolaan BPHTB kepada Pemerintah Daerah. Daerah – daerah ini mungkin akan membelakukan aturan-aturan yang kurang menguntungkan bagi dunia usaha, masyarakat bahkan lingkungan.
I. Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Sesuai pertimbangan pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tujuan pemberian otonomi kepada Pemerintah Daerah adalah “untuk membentuk pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususansuatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Selain itu juga dipandang perlu untuk meningkatkan efekfitas dan efisiensi dari penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemerintahan daerah perlu dilakukan desentralisasi fiskal untuk lebih memberikan otonomi kepada Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangannya. Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan otonomi lebih bagi Pemerintah Daerah untuk mengelola keuangannya. Dengan adanya Undang-Undang tersebut terdapat pelimpahan kewenangan pemungutan pajak yang sebelumnya ditangani oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian diharapkan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat lebih meningkat. Hal ini membuat Pemerintah Daerah lebih otonom bukan hanya pada sisi pengeluaran, tetapi juga pada sisi pengelolaan penerimaan.
Menurut Eddi Wahyudi (2010) Adapun tujuan penyempurnaan dari UU PDRD adalah:
- Memperbaiki Sistem Pemungutan pajak dan retribusi daerah,
- Meningkatkan Local Taxing Power melalui:
- Perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah,
- Penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB dan BPHTB menjadi Pajak Daerah),
- Menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah,
- Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah.
- Meningkatkan Efektifitas Sistem Pengawasan dengan cara:
- Mengubah sistem pengawasan,
- Mengenakan sanksi bagi yang melanggar ketentuan PDRD.
- Meningkatkan Sistem Pengelolaan melalui penyempurnaan:
- Sistem bagi hasil pajak Provinsi,
- Pengembangan sistem earmarking,
- Memberikan insentif pemungutan.
I.2 Permasalahan
Akibat dari pelimpahan kewenangan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) dikhawatirkan adanya ketidaksiapan dari Pemerintah Daerah untuk mengelola BPHTB. Kurangnya Sumber Daya Manusia dan perangkat peraturan akan menjadi kendala yang terbesar bagi Pemerintah Daerah. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengamanatkan penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dan Tarif BPHTB melalui Peraturan Daerah. Dengan begitu adanya perangkat hukum merupakan syarat mutlak bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pemungutan BPHTB.
Perbedaan antara Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.t.d Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dengan Undang Undang PDRD akan secara langsung menyebabkan penurunan jumlah penerimaan BPHTB. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap perilaku dari Pemerintah Daerah dalam mengelola Penerimaan Daerahnya.
Masalah yang akan diteliti dari kajian ini adalah kemungkinan dampak yang terjadi akibat kebijakan pengalihan ini ditinjau dari aspek kemandirian keuangan daerah.
I.2 Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mengenali dampak yang akan timbul dari proses pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Selain itu penulis mencoba melihat kemanfaatan dari proses pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB bagi Pemerintah Daerah. Apabila memungkinkan penulis juga ingin melihat kemungkinan respon dari Pemerintah Daerah yang dapat mempengaruhi kebijakan fiskal.
II. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi literature. Penulis akan melakukan perbandingan antara Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.t.d Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berkaitan dengan BPHTB. Selain itu penulis juga akan menggunakan informasi yang didapat dari buku literature dan kajian-kajian mengenai keuangan daerah dan BPHTB yang dipublikasi baik melalui media jurnal maupun melalui internet.
Untuk data pendukung, kajian ini akan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai BPHTB. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan waktu yang dimiliki oleh penulis untuk menyelesaikan kajian ini.
Untuk menghitung potensi kehilangan penerimaan negara, penulis membandingkan perhitungan berdasarkan UU BPHTB dengan perhitungan UU PDRD. Hasil yang akan ditampilkan akan lebih kepada potensi kehilangan penerimaan per transaksi karena penulis tidak dapat memperoleh data-data pendukung untuk menghitung junlah potensi kehilangan penerimaan secara keseluruhan. Selain itu penulis akan meyajikan potensi penurunan penerimaan bagi daerah-daerah yang memiliki potensi BPHTB yang kecil akibat tidak adanya pembagian hasil BPHTB dari Pemerintah Pusat.
III. Pembahasan
Dengan adanya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan uang lebih luas dalam mengelola keuangannya. Jika sebelumnya otonomi keuangan daerah lebih kepada sisi pengeluaran, dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan lebih luas untuk mengelola sendiri pendapatannya. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya jenis pajak yang kewenangan pemungutannya dialihkan kepada Pemerintah Daerah kota/kabupaten seperti Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor pedesaan dan perkotaan (P2) dan Bea Perolehan Tanah dan/atau Bangunan yang sebelumnya dikelola oleh Pemerintah Pusat dan Pajak Air Tanah yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah provinsi.
Khusus untuk BPHTB, terdapat perbedaan antara ketentuan pada Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.t.d Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dengan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 disebutkan :
“Pasal 5
Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
….
“Pasal 7
(1) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Ketentuan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
Sedangkan pada Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retibusi Daerah disebutkan;
“Pasal 87
...
(4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(5) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(6) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 88
(1) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
(2) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Melihat dua ketentuan diatas, dapat dilihat perbedaan signifikan antara ketentuan pada Undang Undang BPHTB dan Undang Undang PDRD. Perbedaan ini dapt mengakibatkan penurunan penerimaan yang akan diterima oleh Pemerintah Daerah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari table di bawah ini :
No
|
Uraian
|
UU BPHTB
|
UU PDRD
|
1
|
Tarif
|
Ditetapkan 5%
|
Paling tinggi 5% berdasarkan Peraturan Daerah
|
2
|
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
|
1. Paling banyak Rp. 300 juta untuk waris dan hibah wasiat
2. Paling banyak Rp. 60 juta untuk transaksi selain waris dan hibah wasiat
3. Ditetapkan oleh Menkeu
|
1. Paling rendah Rp. 300 juta untuk waris dan hibah wasiat
2. Paling rendah Rp 60 juta untuk transaksi selain waris dan hibah wasiat
3. Ditetapkan oleh Peraturan Daerah
|
Table 1 : Perbedaan perhitungan BPHTB
Penghitungan BPHTB terutang sendiri adalah dengan mengalikan tariff dengan Dasar Pengenaan Pajak yaitu Nilai Perolehan Objek Pajak setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Sedangkan nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal ;
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutandari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hakadalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah hargatransaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Nilai NPOPTKP yang ditetapkan paling rendah Rp. 60 juta untuk transakasi selain waris dan hibah wasiat memunculkan suatu permasalahan bagi daerah-daerah yang memiliki nilai transaksi rata-rata yang rendah. NPOTKP sebelum berlakunya UU PDRD berkisar antara Rp 5 juta sampai Rp 60 juta. Untuk daerah yang sebelumnya memiliki NPOPTKP Rp 5 juta tentu akan kehilangan potensi sebesar Rp 2.750.000 per transaksi. Hal itupun dengan catatan ada transaksi yang melewati angka Rp 60 juta. Permasalahannya adalah, dengan NPOPTKP yang jauh dibawah Rp 60 juta pun pendapatan BPHTB dari daerah-daerah itupun sangat kecil . Sebagai contoh yang merasakan dampak dari naiknya NPOPTKP adalah Kabupaten Lampung Utara. Mengutip berita dari harian tribun lampung, pertanggal 25 Maret 2011 Kabupaten Lampung Utara baru berhasil mengumpulkan Rp 75 juta dari pendapatan BPHTB. Jumlah sebesar Rp 75 juta ini dihasilkan dari 19 transaksi. Kabupaten Lampung Utara pun hanya mematok target sebesar Rp 200 juta untuk penerimaan BPHTB, itupun dengan didukung oleh proyek-proyek infrastruktur yang melakukan pembebasan lahan.
Untuk lebih melihat gambaran besar, penulis menganalisa data bagi hasil BPHTB untuk Tahun 2008 seperti pada lampiran 1. Jika dilihat dari jumlah penerimaan asli daerah dari BPHTB yang menjadi bagi hasil untuk daerah, dapat kita lihat pada table berikut:
Tabel 2 : Jumlah daerah menurut bagi hasil BPHTB
Pada lampiran 1 kita lihat setiap daerah mendapatkan Rp. 2.128.377.192 dari bagian Pemerintah Pusat dari BPHTB yang dibagi rata. Dapat disimpulkan berdasarkan data pada lampiran 1, ada sekitar 320 Daerah Kota / Kabupaten yang akan mengalami penurunan penerimaan minimal Rp. 1 Milyar. Hal itu pun belum ditambah dengan potensi penurunan penerimaan akibat perbedaan NPOPTKP.
Dengan beralihnya penerimaan BPHTB dari pemerintah pusat kepada kabupaten/kota, yang selama ini porsi 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil menjadi 100% akan menambah secara signifikan PAD kabupaten/kota. Seperti dikemukakan oleh Abu Samman Lubis (2010), kabupaten/kota yang selama ini penerimaannya relatif kecil tidak banyak berpengaruh terhadap penerimaan PAD, karena selama ini disamping kabupaten/kota menerima 64% bagi hasil BPHTB, pemerintah pusat dari bagiannya sendiri selama ini (20%) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota, sehingga dengan berlakunya undang-undang PDRD tidak mendapatkan porsi yang sama, yang selama ini diberikan oleh pemerintah pusat.
Pemerintah Pusat perlu mencermati fenomena penurunan penerimaan BPHTB terutama pada daerah-daerah yang memang memiliki Pendapatan Asli Daerah yang rendah. Pemerintah Pusat harus melakukan sosialisasi mengenai efek dari perubahan ketentuan BPHTB. Perlu dijelaskan kepada Pemerintah Daerah bahwa tidak ada lagi dana BPHTB bagian Pemerintah Pusat yang akan ditransfer ke daerah. Untuk sebagian daerah yangmempunyai PAD melebihi Rp 100 Milyar mungkin jumlah transfer Pemerintah Pusat dari hasil BPHTB bukanlah sesuatu yang berpengaruh paa keuangan daerah. Tetapi perlu diingat masih ada daerah yang Penghasilan Asli Daerah masih berkisar pada angka Rp 10 Milyar. Jumlah Rp 2 Milyar bagi daerah-daerah ini merupakan jumlah yang signifikan karena dapat berdampak sebesar 20% terhadap kemampuan mereka mendanai daerahnya.
Kekurangan ini dikhawatirkan akan membuat Pemerintah Daerah merespon dengan cara membuat peraturan yang kurang menguntungkan bagi dunia usaha. Yang paling memungkinkan adalah dengan menaikkan Nilai Jual Objek Pajak PBB (NJOP PBB). Hal ini tetnu akan memberatkan masyarkata luas karena akan terjadi kenaikan PBB yang harus dibayar. Kemungkinan lain yang terjadi adalah Pemerintah Daerah akan melakukan pungutan-pungutan tambahan untuk menutupi kekurangan APBD yang akan memyebabkan high-cost economy. Ada juga kemungkinan lain yang tidak kalah mengkhawatirkan. Pemerintah Daerah-Pemerintah Daerah kemungkinan akan memberikan ijin secara membabi buta dalam hal pengelolaan sumber daya alam baik itu hutan, pertambangan, kelautan dan lain-lain yang akan mengakibatkan kerusakan ekosistem.
Daerah dengan potensi BPHTB yang kecil tentu akan merespon UU PDRD dengan kurang bersemangat. Tercatat sampai dengan bulan maret baru 70,1 % daerah yang telah merampunkan Peraturan Daerah mengenai BPHTB, padahal Peraturan Daerah BPHTB tidak boleh berlaku surut. Sudah bisa dipastikan adanya kehilangan penerimaan BPHTB karena kekosongan peraturan ini. Dibutuhkan campur tangan Pemerintah Pusat agar Pemerintah Daerah segera merampungkan Peraturan Daerah mengenai BPHTB.
Kekosongan Peraturan Daerah tentang BPHTB bukan hanya akan berdampak pada penurunan penerimaan, tetapi ada pula efek sosial pada masyarakat. Ketidakpastian hukum membuat masyarakat yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diliputi ketidakpastian akan perlakuan Pemerintah Daerah terhadap transaksi mereka. Kalaupun Pemerintah Daerah memutuskan untuk tidak memungut BPHTB, Pemerintah Daerah tetap harus menerbitkan Peraturan Daerah yang mengaturnya. Transaksi tidak akan terselesaikan sebelum adanya tanda bukti pembayaran/pembebasan BPHTB. Tidak selesainya transaksi dapat menghambat pemasukan negara berupa Pajak Penghasilan dari transaksi pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan.
Dari sisi sumber daya manusia, untuk memungut BPHTB diperlukan orang-orang yang cakap dalam menginterpretasikan peraturan. Untuk menciptakan sumber daya manusia yang andal dalam mengelola BPHTB bukanlah hal yang dapat dilakukan secara serta merta. Beberapa daerah bahkan memilih jalan pintas dengan membuka menawarkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak untuk menjadi pegawai daerah yang mengurus BPHTB dan PBB sektor perkotaan dan pedesaan. Bagi daerah yang mempunyai dana yang besar untuk memberikan penawaran penghasilan yang setara dengan penghasilan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak bukanlah suatau masalah. Tetapi untuk daerah yang tidak mempunyai potensi yang cukup akan lebih kesulitan untuk menyediakan sumber daya manusia untuk memungut BPHTB.
Untuk beberapa daerah mungkin peralihan kewenangan memungut BPHTB akan sangat menguntungkan. Untuk DKI Jakarta, perubahan NPOPTKP tidak akan berpengaruh besar terhadap penerimaan BPHTB. Hal ini disebabkan untuk wilayah DKI Jakata sejak tahun 2003 sampai dengna tahun 2009 NPOPTKP telah mencapai Rp. 50 juta. Bahkan di tahun 2010, NPOPTKP untuk wilayah DKI Jakarta sudah mencapai Rp 60 juta. Karena itulah DKI Jakarta adalah salah satu daerah yang sangat antusias dalam menyambut peralihan BPHTB kepada Pemerintah Daerah. Bagi DKI Jakarta pasti akan terjadi peningkatan yang signifikan dari penerimaan BPHTB. Hal ini disebabkan mulai tahun 2011 tidak ada lagi bagian Pemerintah Pusat sebesar 20% dari penghasilan BPHTB. Dari pengalihan kewenangan ini jika asumsi penerimaan BPHTB DKI Jakarta sebesar Rp 2 Trilliun, maka jumlah Rp 400 Milyar tidak lagi menjadi bagian Pemerintah Pusat yang akhirnya dibagi rata kepada semua daerah. Dengan adanya penambahan penerimaan ini sangat pantas jika DKI Jakarta merupakan salah satu daerah yang paling cepat dalam mempersiapkan peralihan BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
BPHTB memang hanya mempunyai porsi yang kecil dalam penerimaan Negara, mungkin bagi Pemerintah Pusat bukanlah suatu kerugian yang besar untuk menyerahkan pengelolaan BPHTB kepada Pemerintah Daerah. Bahkan potensi kehilangan penerimaan akibat lambatnya Pemerintah Daerah dalam mempersiapkan perangkat aturan dan sumber daya manusia guna memungut BPHTB sangatlah kecil dibandingkan dengan penerimaan negara dalam APBN. Tetapi selama ini Pemerintah Pusat berperan sebagai penyeimbang penerimaan bagi seluruh daerah. Dengan adanya porsi bagian pemerintah sebesasr 20% yang selanjutnya dibagikan secara merata keseluruh daerah, maka daerah yang sebenarnya sangat kurangpun akan merasakan manfaat dari BPHTB. Dimasa yang akan datang sangat tergantung pada kekuatan suatu daerah untuk membiayai belanjanya sendiri. Harapan yang ingin dicapai adalah semakin sedikitnya campur tangan pemerintah diharapkan akan membangun kemandirin dari daerah-daerah dalam mengelola keuangannya. Tetapi risiko dari semakin sedikitnya campur tangan Pemerintah Pusat adalah semakin tajamnya kesenjangan dari daerah-daerah. Beberapa daerah akan semakin makmur dan meningkat penerimaannya, sedangkan beberepa daerah yang benar-benar minim potensi akan semakin sulit mendanai APBD.
IV. Penutup
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan:
1. Perbedaan NPOPTKP akan menimbulkan penurunan penerimaan BPHTB bagi Pemerintah Daerah yang selama ini mempunya NPOPTKP yang jauh dibawah Rp. 60 juta.
2. Beberapa daerah lambat dalam menyiapkan perangkat peraturan dan sumber daya manusia karena tidak melihat keuntungan dari peralihan BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
3. Adanya kemungkinan terganggunya penerimaan Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan akibat lambatnya Peraturan Daerah mengenai BPHTB. Tetapi hal ini hanya sedikit pengaruhnya terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan.
4. Dengan beralihnya penerimaan BPHTB dari pemerintah pusat kepada kabupaten/kota, yang selama ini porsi 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil menjadi 100% akan menambah secara signifikan PAD kabupaten/kota. Namun demikian, kabupaten/kota yang selama ini penerimaannya relatif kecil tidak banyak berpengaruh terhadap penerimaan PAD, karena selama ini disamping kabupaten/kota menerima 64% bagi hasil BPHTB, pemerintah pusat dari bagiannya sendiri selama ini (20%) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota, sehingga dengan berlakunya undang-undang PDRD tidak mendapatkan porsi yang sama, yang selama ini diberikan oleh pemerintah pusat.
5. Peralihan kewenangan BPHTB kepada Pemerintah Daerah di satu sisi akan meningkatkan kemandirian Pemerintah Daerah yang mempunyai potensi BPHTB yang tinggi. Tetapi disisi lain akan semakin mengurangi penerimaan daerah-daerah yang kurang dalam potensi BPHTB. Hal ini berpotensi mempertajam kesenjangan antara daerah-daerah yang maju dan yang tertinggal.
6. Daerah yang menghadapi penurunan penerimaan dikhawatirkan akan merespon dengan membuat aturan-aturan yang dapat merugikan dunia usaha, masyarakat, dan bahkan lingkungan.
4.2 Rekomendasi
Memperhatikan kemungkinan penurunan penerimaan bagi beberapa daerah, Pemerintah Pusat agar mamformulasikan transfer daerah yang tepat untuk menghindari kesenjangan yang semakin tajam antara daerah yang sudah memiliki infrastruktur yang cukup dengan dareah-daerah lain yang tertinggal. Selain itu dengan formulasi transfer daerah yang tepat, maka dareah yang tertinggal tidak perlu membuat aturan-aturan yang justru akan memberatkan iklim investasi dan menimbulkan gejolak sosial.
V. Daftar Pustaka
Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.t.d Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Wahyudi, Eddi, Mulai 1 Januari 2011 BPHTB Telah Resmi Menjadi Pajak Daerah, http://eddiwahyudi.wordpress.com/2010/12/31/mulai-1-januari-2011-bphtb-telah-resmi-menjadi-pajak-daerah/, 2010
Lubis, Abu Samman, Dampak pengalihan BPHTB bagi Pemerintah Kabupaten/Kota, http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/pontianak/index.php?option=com_content&view=article&id=74:dampak-pengalihan-bphtb-bagi-pemerintah- kabupatenkota &catid=10:umum, 2011
[1] Calon peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal
: penelitian ini bisa menjadi salah satu masukan bagi BKF dalam mengevaluasi risiko transfer daerah.
: penelitian ini bisa menjadi salah satu masukan bagi BKF dalam mengevaluasi risiko transfer daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar