Selasa, 09 Juni 2015

Dana Desa Sebagai Inisiatif Pemerataan Pertumbuhan

Dana Desa Sebagai Inisiatif Pemerataan Pertumbuhan
Oleh: Ferry Afi Andi
*Tulisan ini juga dimuat pada majalah Media Keuangan Edisi Desember 2014
Pemberlakuan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang  Desa  (UU Desa) pada awal tahun 2014 memberikan sebuah paradigma baru dalam pemberdayaan masyarakat desa. Utamanya, UU Desa memberikan desa sumber dana yang lebih besar untuk melaksanakan pembangunan. Dalam pasal 72 ayat 2 huruf b disebutkan bahwa salah satu sumber dana dalam APBDesa berasal dari APBN. Besarannya adalah 10 persen dari dan diluar (on top) jumlah transfer ke daerah. Dengan demikian desa akan memiliki kapasitas keuangan yang lebih memadai dalam menginisisasi pembangunan di daerahnya masing-masing.
Melihat kapasitas fiskal dalam APBN  yang belum mencukupi untuk penyediaan dana Desa pada tahun 2015, pelaksanaan penyaluran dana tambahan untuk desa sebesar 10 persen dari dan diluar transfer ke daerah belum dapat dilakukan sepenuhnya. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan Dana Desa akan dilakukan bertahap untuk pada akhirnya mencapai 10 persen dari transfer ke daerah sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Pertanggungjawaban keuangan negara membutuhkan kemampuan memadai dalam mengerti peraturan pengelolaan keuangan negara. Selain itu kapasitas desa dalam melaksanakan kegiatan pembangunan juga perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Oleh karena itu diperlukan pengawasan dan pendampingan dari Pemerintah maupun Pemda dalam pelaksanaannya.
Penganggaran Dana Desa
UU Desa mengamanatkan pemerintah pusat untuk mengalokasikan Dana Desa yang berasal dari belanja pusat dengan mengefektifkan program berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Besaran Dana Desa dalam RAPBN tahun 2015 adalah Rp 9.066,2 Milliar. Jumlah tersebut tentu masih jauh dibawah angka 10% dari anggaran transfer daerah yang sebesar Rp 630 Trilliun. Jumlah ini akan ditingkatkan bertahap sehingga mencapai angka yang diamanatkan oleh UU Desa.
Selain Dana Desa, untuk tahun 2015 sumber dana pembangunan desa dari APBN juga berasal dari K/L yang mempunyai kegiatan berbasis desa. Dalam pasal 31 PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber Dari APBN disebutkan bahwa K/L yang mempunyai kegiatan berbasis desa tetap dapat mengajukan anggaran untuk kegiatan yang berbasis desa selama alokasi Dana Desa belum memenuhi ketentuan UU Desa. Hal ini tentu merupakan proses transisi untuk secara bertahap mengalokasikan Dana Desa sesuai dengan UU Desa.
Dana Desa diproritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa disamping untuk membiayai penyelengaraan pemerintahan dan kemasyarakatan. Dana Desa juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer pangan, sandang, dan papan masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan. Penetapan prioritas ini dilakukan oleh Menteri yang menangani desa, setelah berkoordinasi dengan  menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, Menteri Keuangan, dan Menteri teknis/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian. Prioritas penggunaan Dana Desa ini ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerinta (RKP)
Pemberdayaan Masyarakat Desa Dalam Pembangunan
Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Untuk tahun 2014 Dana Desa diprioritaskan untuk program kegiatan yang meliputi: (i) pengentasan masyarakat miskin; (ii) peningkatan pelayanan kesehatan; (iii) infrastruktur dan/atau (iv) pertanian.
Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, masyarakat desa membutuhkan arahan dari Pemerintah dan Pemda agar kegiatan dapat terlaksana dengan baik secara teknis maupun administratif. UU Desa mengamanatkan kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi untuk melakukan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan dalam rangka memberdayakan masyarakatan desa.
Secara umum proyek yang dikerjakan dengan pemberdayaan masyarakat berdampak positif bagi pembangunan perekonomian desa. Hal ini dapat dilihat dari Laporan Akhir Studi Skala Kecil Analisis Manfaat Ekonomi Proyek Infrastruktur PNPM Mandiri Pedesaan Periode April-Juli 2012 yang dilaakukan Tim independen World Bank untuk PNPM Support Facility  yang dilakukan untuk menghitung manfaat ekonomi dari proyek infrastruktur yang dikerjaan di beberapa wilayah pedesaan. Laporan tersebut menghitung Economic Intenal Rate of Return (EIRR), General Income Multiplier, dan penghematan dari pengerjaan proyek oleh masyarakat desa dibandingkan dengan apabila proyek tersebut dilakukan melalui Pemda. Survey dilakukan terhadap 48 proyek di 4 wilayah provinsi.
Hasil yang didapatkan adalah seluruh proyek yang dilakukan melalui PNPM Mandiri Pedesaan memiliki kelayakan ekonomi jika dilihat dari EIRR. Standar Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, mensyaratkan untuk memiliki EIRR lebih dari 12% untuk dianggap memiliki kelayakan ekonomi. Tabel 1 menunjukkan 12 proyek di Jawa Tengah menghasilkan EIRR di atas 100% karena besarnya manfaat yang dihasilkan, dan proyek-proyek lain di tiga provinsi lainnya rata-rata nilai EIRR-nya tidak lebih dari 40%. Manfaat yang besar didapatkan karena terbukanya akses transportasi dan peningkatan produksi pertanian.
 Tabel 1. Economic Internal Rate of Return
Sumber: PNPM Support Facility (2012)
Namun terdapat perbedaan manfaat ekonomi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sebagai contoh irigasi di daerah jawa tengah memiliki EIRR paling tinggi karena dapat meningkatkan jumlah masa tanam dan luasan wilayah sawah yang mendapatkan pengairan yang akhirnya meningkatkan produksi pertanian. Sedangkan daerah lainnya tidak memiliki tingkat kesuburan tanah seperti Jawa tengah.
Pengaruh proyek terhadap kegiatan perekonomian tergambarkan dalam general income multiplier yang terlihat pada tabel 2. Semakin tinggi nilai tambah yang diberikan oleh sebuah proyek maka akan semakin besar perputaran uang yang terjadi di daerah tersebut.  Dari kegiatan yang disurvey, multiplier yang dihasilkan sebesar Rp2,27 milliar. Jumlah ini cukup signifikan untuk perekonomian daerah pedesaan.

Tabel 2. General Income Multiplier
Untuk menghitung penghematan yang diperoleh dari proyek PNPM Mandiri, nilai proyek yang dikeluarkan dihitung kembali menggunakan standar biaya umum pemda untuk mendapatkan gambaran berapa biaya yang dikeluarkan jika proyek tersebut dilaksanakan oleh Pemda. Tabel 3 menunjukan penghematan jika bantuan swadaya masyarakat dinilai dan dimasukkan kedalam komponen biaya konstruksi dari proyek infrastruktur. Dalam ha ini penghematan yang didapatkan secara total mencapai hampir 25 persen dari nilai proyek atau sekitar Rp1,6 milliar.
Tabel 3. Penghematan Biaya Konstruksi (Dengan Swadaya) PNPM VS Pemda

Sumber: PNPM Support Facility (2012)
Tabel 4 memperlihatkan jumlah penghematan yang diperoleh dari proyek yang dilaksanakan oleh masyarakat desa dengan tidak memperhitungkan biaya dari bantuan swadaya masyarakat. Dapat kita lihat pada tabel 4 secara total penghematan yang terjadi lebih dari 36 persen atau sekitar Rp2,2 milliar. Jadi pengerjaan proyek secara mandiri oleh masyarakat desa lebih efisien.
Tabel4. Penghematan Biaya Konstruksi (Tanpa Biaya Swadaya) PNPM VS Pemda

 Sumber: PNPM Support Facility (2012)

Penutup
Melihat Laporan Akhir Studi Skala Kecil Analisis Manfaat Ekonomi Proyek Infrastruktur PNPM Mandiri Pedesaan Periode April-Juli 2012, dapat kita lihat bahwa potensi petumbuhan ekonomi pedesaan cukup besar apabila proyek infrastuktur dilakukan dengan memberdayakan masyarakat desa. Dengan demikian akan terwujud pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Sentra-sentra pertumbuhan akan tumbuh secara sporadis jika pembangunan desa dilakukan secara bersama-sama. Pemberian sumber dana yang memadai untuk membangun daerahnya masing-masing akan memungkin hal tersebut diatas.
Pemberian dana saja tentu belum cukup untuk mengoptimalkan pembangunan di daerah pedesaan. Diperlukan pendampingan baik dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah daerah agar terjadi peningkatan kapasitas desa dalam mengelola Dana Desa dan memberdayakan masyarakat desa dalam hal teknis pelaksanaan kegiatan maupun dalam hal pertanggung jawaban adminstrasi keuangan negara.

Pemerintah terus mengusahakan agar pemenuhan besaran Dana Desa sebagaimana diamanatkan oleh UU Desa dapat segera terlaksana. Namun mengingat ruang fiskal dalam APBN, untuk sementara Pemerintah masih memungkinkan Kementerian dan Lembaga untuk tetap mengajukan anggaran kegiatan berbasis desa. Hal ini juga ditujukan untuk melakukan pengawasan, pemantauan dan pendampingan kepada desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa dalam pembangunan daerah perdesaan sebagaimana diamanatkan oleh UU Desa.
** Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mengatasnamakan instansi manapun

Rabu, 10 April 2013

Kanker dan Korupsi


KANKER DAN KORUPSI

Jika ada yang mengumpamakan korupsi sebagai kanker yang menggerogoti negara kita, kebanyakan dari kita pasti setuju. Entah pegawai negeri, wirausaha, buruh, bahkan pengangguran sekalipun pasti akan sepakat. Setelah menyepakati persamaan kanker dan korupsi seharusnya kita juga bisa bersepakat tentang cara pengobatannya.

Untuk mengobati kanker terkadang kita diberikan obat, suplemen dan vitamin untuk memperkuat tubuh kita terlebih dahulu. Vitamin, suplemen dan obat ini akan membuat kita merasa lebih sehat dan lebih memiliki energi. Walaupun demikian kita masih menyadari bahwa ada penyakit/kanker dalam tubuh kita. Sepenuhnya kita sadar bahwa penyakit ini harus segera diangkat. Proses berikutnya bukanlah sesuatu hal yang menyenangkan. Saya hanya bisa berandai-andai karena saya belum pernah dan semoga tidak akan pernah mengalaminya.

Sebagai contoh pengobatan adalah chemotherapy. Bagian tubuh kita yang sakit akan disinari dan akan menimbutkan sakit yang tidak sedikit. Dan badan kita yang tadinya sudah kelihatan segar gemuk ginuk-ginuk pun kembali tergolek lemah tak berdaya. Kita kembali menjadi orang yang sakit. Sangat mungkin pula kita harus merelakan badan kita dibuka/dioperasi untuk melihat sejauh mana penyakit itu sudah menyerang. Akan tetapi jalan itu harus kita tempuh jika ingin mendapatkan kesempatan untuk sembuh.

Keputusan untuk menjalani pengobatan tidak mudah untuk diambil. Banyak harus dikorbankan, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Terkadang kita sangat benci untuk kembali dilemahkan bahkan kita merasa disakiti. Dan tidak sedikit pula yang akhirnya merasa cukup dengan vitamin-vitamin untuk memperkuat tubuh dan terlihat seakan2 lebih sehat sebelum akhirnya kanker menyerang.

Bukankah pemberantasan korupsi di negeri kita agak mirip dengan pengobatan kanker? Kita lihat bagaimana institusi-istitusi vital telah diberikan vitamin, suplemen dan obat dalam bentuk remunerasi dan peningkatan penghasilan agar merasa lebih sehat. Kita juga melihat bagaimana institusi ini terlihat lebih indah. Lalu kita lihat juga bagaimana pembersihan korupsi yang kadang menyakitkan bahkan mematahkan dan melemahkan semangat semua yang ada didalamnya. 

Jadi apakah kita akan memutuskan untuk menyerah dan menghentikan pemberantasan korupsi karena tidak tahan dengan sakitnya? Atau kita tetap terus menjalani proses yang kelak akan membuat kita lebih sehat, lebih kuat dan lebih bisa bermanfaat?

*Penulis meminta maaf jika ada perkataan yang menyinggung penderita kanker dan keluarganya. Metafora ini hanya pikiran saya dan tidak mewakili institusi tempat saya bekerja atau institusi manapun.




Selasa, 21 Februari 2012

Oil Frenzy

The crisis in Middle East (Iran) has stimulate the soaring oil price.Not to mention the shutdown of nuclear power plants in japan has shifted the demand for oil and gas.The oil price is predicted to reach the level of $135 per barrel this year.
The worry about nuclear power plant has draw the trend of alternative energy backward. It is reasonable for japan to reevaluate their nuclear power plant since they are in the middle of the ring of fire which earthquake strikes daily. But it is very sad to me to see that Japanese reevaluation  raised other countries agony- which are actually save to use nuclear power plant. The consequence is the demand for oil increases and accelerate the depletion of oil resources. While some people are screaming for less oil usage, others are increasing the consumption on oil. I believe the use of nuclear power plant should be maintained.
The increasing oil price in the middle of economic crisis around the globe will lead to a calamity. I predict in next 8 month many European and Asian countries fall in to monetary crisis as the oil price jumps. Some countries will severely affected by the oil crisis. Actually it is an opportunity to develop alternative energy. However, I doubt there will be enough time.   
 For Indonesia, the controversy on fuel subsidy or the conversion from oil fuel to liquid gas must be solved immediately. The delay will only hurt the budget as the size of subsidy keeps increasing. Indonesia must quickly move to reduce the consumption of oil. With all the resources we have such as coal and gas, it should be not a problem to free Indonesia from dependency to oil.

Minggu, 05 Juni 2011

ANALISA DAMPAK PEMINDAHAN KEWENANGAN PEMUNGUTAN BEA PERALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN KEPADA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH

ANALISA DAMPAK PEMINDAHAN KEWENANGAN PEMUNGUTAN
BEA PERALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
KEPADA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH
Oleh : Ferry Afi Andi[1]
Abstraksi
Untuk lebih memberikan otonomi kepada daerah dalam  mengelola keuangan diberlakukan Undang Undang  Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam UU 28Tahun 2009 ini diberikan keweangan kepada daerah untuk mengelola penerimaan yang sebelumya dikelola oleh Pemerintah Pusat. Salah satu dari sumber penerimaan yang dialihkan pengelolaannya kepada Pemerintah Daerah adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). Pengelolaan BPHTB oleh Pemerintah Daerah diharapkan akan menimbulkan kemandirian Pemerintah Daerah dalam membiayai anggarannya.
Namun ada beberapa perbedaan mendasar antara Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.t.d Undang Undang  Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dengan Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terutama dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) justru mengakibatkan penurunan penerimaan BPHTB. Hal ini menyebabkan beberapa daerah tidak bersemangat dalam menyambut pengelolaan BPHTB. Banyak daerah justru lebih merasa diuntungkan dengan pola pengelolaan BPHTB oleh Pemerintah Pusat  karena tiap daerah pasti mendapat bagian dari Pemerintah Pusat yang dikembali dibagi rata.. Oleh karena itu sampai dengan waktu pengelolaan BPHTB oleh Pemerintah Daerah, banyak Daerah belum mempunyai perangkat Peraturan Daerah yang dipakai sebagai dasar pemungutan BPHTB. Belum lagi jika mereka harus menyediakan Sumber Daya Manusia untuk memungut BPHTB yang potensinya tidak seberapa.
Tidak adanya Peraturan Daerah yang mendasari pemungutan akan menyebabkan Pemerintah Daerah tidak dapat memungut BPHTB. Hal ini juga menimbulka keresahan masyarakat karena tidak adanya kepastian hukum atas transaksi yang mereka lakukan.  Hal ini dapat juga mengganggu penerimaan negara dari sektor Pajak Penghasilan atas Peralihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dan yang pasti selama kekosongan itu terjadi BPHTB tidak dapat ditagih dan tidak akan bisa ditagih karena Peraturan Daerah untuk BPHTB tidak bisa berlaku surut.
Peralihan pengelolaan BPHTB untuk beberapa daerah dengan potensi besar tentu akan menjadi sumber penambahan pendapatan daerah yang cukup besar. Daerah-daerah ini tentu sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mengelola BPHTB. Bagi daerah-daerah ini tujuan untuk menciptakan kemandirian keuangan daerah mungkin akan tercapai. Daerah-daerah ini tentu akan sangat terbantu penerimaannya dengan adanya peralihan pengelolaan BPHTB.
Concern Pemerintah Pusat seharusnya lebih kepada bagaimana ketahanan daerah-daerah yang tidak mempunyai potensi untuk mendapat keuntungan dari proses peralihan pengelolaan BPHTB kepada Pemerintah Daerah. Daerah – daerah ini  mungkin akan membelakukan aturan-aturan yang kurang menguntungkan bagi dunia usaha, masyarakat bahkan lingkungan.

I.       Pendahuluan
I.1      Latar Belakang
Sesuai pertimbangan pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tujuan pemberian otonomi kepada Pemerintah Daerah adalah “untuk membentuk pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususansuatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Selain itu juga dipandang perlu untuk meningkatkan efekfitas dan efisiensi dari penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemerintahan daerah perlu dilakukan  desentralisasi fiskal  untuk lebih memberikan otonomi kepada Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangannya. Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan otonomi lebih bagi Pemerintah Daerah untuk mengelola keuangannya. Dengan adanya Undang-Undang tersebut terdapat pelimpahan kewenangan pemungutan pajak yang sebelumnya ditangani oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian diharapkan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat lebih meningkat. Hal ini membuat Pemerintah Daerah lebih otonom bukan hanya pada sisi pengeluaran, tetapi juga pada sisi pengelolaan penerimaan.
Menurut Eddi Wahyudi (2010) Adapun tujuan penyempurnaan dari UU PDRD adalah:
  1. Memperbaiki Sistem Pemungutan pajak dan retribusi daerah,
  2. Meningkatkan Local Taxing Power melalui:
    1. Perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah,
    2. Penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB dan BPHTB menjadi Pajak Daerah),
    3. Menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah,
    4. Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah.
  3. Meningkatkan Efektifitas Sistem Pengawasan dengan cara:
    1. Mengubah sistem pengawasan,
    2. Mengenakan sanksi bagi yang melanggar ketentuan PDRD.
  4. Meningkatkan Sistem Pengelolaan melalui penyempurnaan:
    1. Sistem bagi hasil pajak Provinsi,
    2. Pengembangan sistem earmarking,
    3. Memberikan insentif pemungutan.

I.2 Permasalahan
Akibat dari pelimpahan kewenangan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) dikhawatirkan adanya ketidaksiapan dari Pemerintah Daerah untuk mengelola BPHTB. Kurangnya Sumber Daya Manusia dan perangkat peraturan akan menjadi kendala yang terbesar bagi Pemerintah Daerah. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengamanatkan penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dan Tarif BPHTB melalui Peraturan Daerah. Dengan begitu adanya perangkat hukum merupakan syarat mutlak bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pemungutan BPHTB.
Perbedaan antara Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.t.d Undang Undang  Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dengan Undang Undang PDRD akan secara langsung menyebabkan penurunan jumlah penerimaan BPHTB. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap perilaku dari Pemerintah Daerah dalam mengelola Penerimaan Daerahnya.
Masalah yang akan diteliti dari kajian ini adalah kemungkinan dampak yang terjadi akibat kebijakan pengalihan ini ditinjau dari aspek kemandirian keuangan daerah.

I.2 Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mengenali dampak yang akan timbul dari proses pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.  Selain itu penulis mencoba melihat kemanfaatan dari proses pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB bagi Pemerintah Daerah. Apabila memungkinkan penulis juga ingin melihat kemungkinan respon dari Pemerintah Daerah yang dapat mempengaruhi kebijakan fiskal.

II.   Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi literature. Penulis akan melakukan perbandingan antara Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.t.d Undang Undang  Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berkaitan dengan BPHTB.  Selain itu penulis juga akan menggunakan informasi yang didapat dari buku literature dan kajian-kajian mengenai keuangan daerah dan BPHTB yang dipublikasi baik melalui media jurnal maupun melalui internet.
Untuk data pendukung, kajian ini akan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai BPHTB. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan waktu yang dimiliki oleh penulis untuk menyelesaikan kajian ini.
Untuk menghitung potensi kehilangan penerimaan negara, penulis membandingkan perhitungan berdasarkan UU BPHTB dengan perhitungan UU PDRD. Hasil yang akan ditampilkan akan lebih kepada potensi kehilangan penerimaan per transaksi karena penulis tidak dapat memperoleh data-data pendukung untuk menghitung junlah potensi kehilangan penerimaan secara keseluruhan. Selain itu penulis akan meyajikan potensi penurunan penerimaan bagi daerah-daerah yang memiliki potensi BPHTB yang kecil akibat tidak adanya pembagian hasil BPHTB dari Pemerintah Pusat.  

III.   Pembahasan
Dengan adanya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan uang lebih luas dalam mengelola keuangannya. Jika sebelumnya otonomi keuangan daerah lebih kepada sisi pengeluaran, dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan lebih luas untuk mengelola sendiri pendapatannya. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya jenis pajak yang kewenangan pemungutannya dialihkan kepada Pemerintah Daerah kota/kabupaten seperti Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor pedesaan dan perkotaan (P2) dan Bea Perolehan Tanah dan/atau Bangunan yang sebelumnya dikelola oleh Pemerintah Pusat dan Pajak Air Tanah yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah provinsi.
Khusus untuk BPHTB, terdapat perbedaan antara ketentuan pada Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.t.d Undang Undang  Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dengan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 disebutkan :
“Pasal 5
Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
….
“Pasal 7
     (1)        Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

     (2)        Ketentuan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."

Sedangkan pada Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retibusi Daerah disebutkan;
“Pasal 87
...
(4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(5) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(6) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 88
(1) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
(2) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Melihat dua ketentuan diatas, dapat dilihat perbedaan signifikan antara ketentuan pada Undang Undang BPHTB dan Undang Undang PDRD. Perbedaan ini dapt mengakibatkan penurunan penerimaan yang akan diterima oleh Pemerintah Daerah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari table di bawah ini :
No

Uraian
UU BPHTB
UU PDRD
1

Tarif
Ditetapkan 5%
Paling tinggi 5% berdasarkan Peraturan Daerah
2
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
1.    Paling banyak Rp. 300 juta untuk waris dan hibah wasiat

2.    Paling banyak Rp. 60 juta untuk transaksi selain waris dan hibah wasiat

3.    Ditetapkan oleh Menkeu
1.  Paling rendah Rp. 300 juta untuk waris dan hibah wasiat

2.  Paling rendah Rp 60 juta untuk transaksi selain waris dan hibah wasiat

3.  Ditetapkan oleh Peraturan Daerah
Table 1 : Perbedaan perhitungan BPHTB
Penghitungan BPHTB terutang sendiri adalah dengan mengalikan tariff dengan Dasar Pengenaan Pajak yaitu Nilai Perolehan Objek Pajak setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Sedangkan nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal ;
a.              jual beli adalah harga transaksi;
b.             tukar menukar adalah nilai pasar;
c.              hibah adalah nilai pasar;
d.             hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.              waris adalah nilai pasar;
f.              pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.             pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h.             peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan  hukum tetap adalah nilai pasar;
i.               pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutandari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j.               pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hakadalah nilai pasar;
k.             penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l.               peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.           pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n.             hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o.             penunjukan pembeli dalam lelang adalah hargatransaksi yang tercantum dalam risalah lelang.

Nilai NPOPTKP yang ditetapkan paling rendah Rp. 60 juta untuk transakasi selain waris dan hibah wasiat memunculkan suatu permasalahan bagi daerah-daerah yang memiliki nilai transaksi rata-rata yang rendah. NPOTKP sebelum berlakunya UU PDRD berkisar antara Rp 5 juta sampai Rp 60 juta. Untuk daerah yang  sebelumnya memiliki NPOPTKP Rp 5 juta tentu akan kehilangan potensi sebesar Rp 2.750.000 per transaksi. Hal itupun dengan catatan ada transaksi yang melewati angka Rp 60 juta. Permasalahannya adalah, dengan NPOPTKP yang jauh dibawah Rp 60 juta pun pendapatan BPHTB dari daerah-daerah itupun sangat kecil . Sebagai contoh yang merasakan dampak dari naiknya NPOPTKP adalah Kabupaten Lampung Utara. Mengutip berita dari harian tribun lampung, pertanggal 25 Maret 2011 Kabupaten Lampung Utara baru berhasil mengumpulkan Rp 75 juta dari pendapatan BPHTB. Jumlah sebesar Rp 75 juta ini dihasilkan dari 19 transaksi. Kabupaten Lampung Utara pun hanya mematok target sebesar Rp 200 juta untuk penerimaan BPHTB, itupun dengan didukung oleh proyek-proyek infrastruktur yang melakukan pembebasan lahan.
Untuk lebih melihat gambaran besar, penulis menganalisa data bagi hasil BPHTB untuk Tahun 2008 seperti pada lampiran 1. Jika dilihat dari jumlah penerimaan asli daerah dari BPHTB yang menjadi bagi hasil untuk daerah, dapat kita lihat pada table berikut:
Tabel 2 : Jumlah daerah menurut bagi hasil BPHTB

Pada lampiran 1 kita lihat setiap daerah mendapatkan Rp. 2.128.377.192 dari bagian Pemerintah Pusat dari BPHTB yang dibagi rata. Dapat disimpulkan  berdasarkan data pada lampiran 1, ada sekitar 320 Daerah Kota / Kabupaten yang akan mengalami penurunan penerimaan minimal Rp. 1 Milyar. Hal itu pun belum ditambah dengan potensi penurunan penerimaan akibat perbedaan NPOPTKP.
Dengan beralihnya penerimaan BPHTB dari pemerintah pusat kepada kabupaten/kota, yang selama ini porsi 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil menjadi 100% akan menambah secara signifikan PAD kabupaten/kota. Seperti dikemukakan oleh Abu Samman Lubis (2010), kabupaten/kota yang selama ini penerimaannya relatif kecil tidak banyak berpengaruh terhadap penerimaan PAD, karena selama ini disamping kabupaten/kota menerima 64% bagi hasil BPHTB, pemerintah pusat dari bagiannya sendiri selama ini (20%) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota, sehingga dengan berlakunya undang-undang PDRD tidak mendapatkan porsi yang sama, yang selama ini diberikan oleh pemerintah pusat.

Pemerintah Pusat perlu mencermati fenomena penurunan penerimaan BPHTB terutama pada daerah-daerah yang memang memiliki Pendapatan Asli Daerah yang rendah. Pemerintah Pusat harus melakukan sosialisasi mengenai efek dari perubahan ketentuan BPHTB. Perlu dijelaskan kepada Pemerintah Daerah bahwa tidak ada lagi dana BPHTB bagian Pemerintah Pusat yang akan ditransfer ke daerah.  Untuk sebagian daerah yangmempunyai PAD melebihi Rp 100 Milyar mungkin jumlah transfer Pemerintah Pusat dari hasil BPHTB bukanlah sesuatu yang berpengaruh paa keuangan daerah. Tetapi perlu diingat masih ada daerah yang Penghasilan Asli Daerah masih berkisar pada angka Rp 10 Milyar. Jumlah Rp 2 Milyar bagi daerah-daerah ini merupakan jumlah yang signifikan karena dapat berdampak sebesar 20% terhadap kemampuan mereka mendanai daerahnya.
Kekurangan ini dikhawatirkan akan membuat Pemerintah Daerah merespon dengan cara membuat peraturan yang kurang menguntungkan bagi dunia usaha. Yang paling memungkinkan adalah dengan menaikkan Nilai Jual Objek Pajak PBB (NJOP PBB). Hal ini tetnu akan memberatkan masyarkata luas karena akan terjadi kenaikan PBB yang harus dibayar. Kemungkinan lain yang terjadi adalah  Pemerintah Daerah akan melakukan pungutan-pungutan tambahan untuk menutupi kekurangan APBD yang akan memyebabkan high-cost economy. Ada juga kemungkinan lain yang tidak kalah mengkhawatirkan. Pemerintah Daerah-Pemerintah Daerah kemungkinan akan memberikan ijin secara membabi buta dalam hal pengelolaan sumber daya alam baik itu hutan, pertambangan, kelautan dan lain-lain yang akan mengakibatkan kerusakan ekosistem.    
Daerah dengan potensi BPHTB yang kecil tentu akan merespon UU PDRD dengan kurang bersemangat. Tercatat sampai dengan bulan maret baru 70,1 % daerah yang telah merampunkan Peraturan Daerah mengenai BPHTB, padahal Peraturan Daerah BPHTB tidak boleh berlaku surut. Sudah bisa dipastikan adanya kehilangan penerimaan BPHTB karena kekosongan peraturan ini. Dibutuhkan campur tangan Pemerintah Pusat agar Pemerintah Daerah segera merampungkan Peraturan Daerah mengenai BPHTB.
Kekosongan Peraturan Daerah tentang BPHTB bukan hanya akan berdampak pada penurunan penerimaan, tetapi ada pula efek sosial pada masyarakat. Ketidakpastian hukum membuat masyarakat yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diliputi ketidakpastian akan perlakuan Pemerintah Daerah terhadap transaksi mereka. Kalaupun Pemerintah Daerah memutuskan untuk tidak memungut BPHTB, Pemerintah Daerah tetap harus menerbitkan Peraturan Daerah yang mengaturnya. Transaksi tidak akan terselesaikan sebelum adanya tanda bukti pembayaran/pembebasan BPHTB. Tidak selesainya transaksi dapat menghambat pemasukan negara berupa Pajak Penghasilan dari transaksi pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan.
Dari sisi sumber daya manusia, untuk memungut BPHTB diperlukan orang-orang yang cakap dalam menginterpretasikan peraturan. Untuk menciptakan sumber daya manusia yang andal dalam mengelola BPHTB bukanlah hal yang dapat dilakukan secara serta merta. Beberapa daerah bahkan memilih jalan pintas dengan membuka menawarkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak untuk menjadi pegawai daerah yang mengurus BPHTB dan PBB sektor perkotaan dan pedesaan. Bagi daerah yang mempunyai dana yang besar untuk memberikan penawaran penghasilan yang setara dengan penghasilan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak bukanlah suatau masalah. Tetapi untuk daerah yang tidak mempunyai potensi yang cukup akan lebih kesulitan untuk menyediakan sumber daya manusia untuk memungut BPHTB.
Untuk beberapa daerah mungkin peralihan kewenangan memungut BPHTB akan sangat menguntungkan. Untuk DKI Jakarta, perubahan NPOPTKP tidak akan berpengaruh besar terhadap penerimaan BPHTB. Hal ini disebabkan untuk wilayah DKI Jakata sejak tahun 2003 sampai dengna tahun 2009 NPOPTKP telah mencapai Rp. 50 juta. Bahkan di tahun 2010, NPOPTKP untuk wilayah DKI Jakarta sudah mencapai Rp 60 juta.  Karena itulah DKI Jakarta adalah salah satu daerah yang sangat antusias dalam menyambut peralihan BPHTB kepada Pemerintah Daerah. Bagi DKI Jakarta pasti akan terjadi peningkatan yang signifikan dari penerimaan BPHTB. Hal ini disebabkan mulai tahun 2011 tidak ada lagi bagian Pemerintah Pusat sebesar 20% dari penghasilan BPHTB.  Dari pengalihan kewenangan ini jika asumsi penerimaan BPHTB DKI Jakarta sebesar Rp 2 Trilliun, maka jumlah Rp 400 Milyar tidak lagi menjadi bagian Pemerintah Pusat yang akhirnya dibagi rata kepada semua daerah. Dengan adanya penambahan penerimaan ini sangat pantas jika DKI Jakarta merupakan salah satu daerah yang paling cepat dalam mempersiapkan peralihan BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
BPHTB memang hanya mempunyai porsi yang kecil dalam penerimaan Negara, mungkin bagi Pemerintah Pusat bukanlah suatu kerugian yang besar untuk menyerahkan pengelolaan BPHTB kepada Pemerintah Daerah. Bahkan potensi kehilangan penerimaan akibat lambatnya Pemerintah Daerah dalam mempersiapkan perangkat aturan dan sumber daya manusia guna memungut BPHTB sangatlah kecil dibandingkan dengan penerimaan negara dalam APBN. Tetapi selama ini Pemerintah Pusat berperan sebagai penyeimbang penerimaan bagi seluruh daerah. Dengan adanya porsi bagian pemerintah sebesasr 20% yang selanjutnya dibagikan secara merata keseluruh daerah, maka daerah yang sebenarnya sangat kurangpun akan merasakan manfaat dari BPHTB. Dimasa yang akan datang sangat tergantung pada kekuatan suatu daerah untuk membiayai belanjanya sendiri. Harapan yang ingin dicapai adalah semakin sedikitnya campur tangan pemerintah diharapkan akan membangun kemandirin dari daerah-daerah dalam mengelola keuangannya. Tetapi risiko dari semakin sedikitnya campur tangan Pemerintah Pusat adalah semakin tajamnya kesenjangan dari daerah-daerah. Beberapa daerah akan semakin makmur dan meningkat penerimaannya, sedangkan beberepa daerah yang benar-benar minim potensi akan semakin sulit mendanai APBD.

IV.    Penutup
4.1       Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan:

1.      Perbedaan NPOPTKP akan menimbulkan penurunan penerimaan BPHTB bagi Pemerintah Daerah yang selama ini mempunya NPOPTKP yang jauh dibawah Rp. 60 juta.
2.      Beberapa daerah lambat dalam menyiapkan perangkat peraturan dan sumber daya manusia karena tidak melihat keuntungan dari peralihan BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
3.      Adanya kemungkinan terganggunya penerimaan Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan akibat lambatnya Peraturan Daerah mengenai BPHTB. Tetapi hal ini hanya sedikit pengaruhnya terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan.
4.      Dengan beralihnya penerimaan BPHTB dari pemerintah pusat kepada kabupaten/kota, yang selama ini porsi 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil menjadi 100% akan menambah secara signifikan PAD kabupaten/kota. Namun demikian, kabupaten/kota yang selama ini penerimaannya relatif kecil tidak banyak berpengaruh terhadap penerimaan PAD, karena selama ini disamping kabupaten/kota menerima 64% bagi hasil BPHTB, pemerintah pusat dari bagiannya sendiri selama ini (20%) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota, sehingga dengan berlakunya undang-undang PDRD tidak mendapatkan porsi yang sama, yang selama ini diberikan oleh pemerintah pusat.
5.      Peralihan kewenangan BPHTB kepada Pemerintah Daerah di satu sisi akan meningkatkan kemandirian Pemerintah Daerah yang mempunyai potensi BPHTB yang tinggi. Tetapi disisi lain akan semakin mengurangi penerimaan daerah-daerah yang kurang dalam potensi BPHTB. Hal ini berpotensi mempertajam kesenjangan antara daerah-daerah yang maju dan yang tertinggal.
6.      Daerah yang menghadapi penurunan penerimaan dikhawatirkan akan merespon dengan membuat aturan-aturan yang dapat merugikan dunia usaha, masyarakat, dan bahkan lingkungan.

4.2  Rekomendasi
Memperhatikan kemungkinan penurunan penerimaan bagi beberapa daerah, Pemerintah Pusat agar mamformulasikan transfer daerah yang tepat untuk menghindari kesenjangan yang semakin tajam antara daerah yang sudah memiliki infrastruktur yang cukup dengan dareah-daerah lain yang tertinggal. Selain itu dengan formulasi transfer daerah yang tepat, maka dareah yang tertinggal tidak perlu membuat aturan-aturan yang justru akan memberatkan iklim investasi dan menimbulkan gejolak sosial.






V.       Daftar Pustaka

Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.t.d Undang Undang  Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Wahyudi, Eddi, Mulai 1 Januari 2011 BPHTB Telah Resmi Menjadi Pajak Daerah, http://eddiwahyudi.wordpress.com/2010/12/31/mulai-1-januari-2011-bphtb-telah-resmi-menjadi-pajak-daerah/, 2010
Lubis, Abu Samman, Dampak pengalihan BPHTB bagi Pemerintah Kabupaten/Kota, http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/pontianak/index.php?option=com_content&view=article&id=74:dampak-pengalihan-bphtb-bagi-pemerintah- kabupatenkota &catid=10:umum,  2011






[1] Calon peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal
: penelitian ini bisa menjadi salah satu masukan bagi BKF dalam mengevaluasi risiko transfer daerah.